Ribuan Warga Demo Tolak Penertiban Kawasan Hutan Tesso Nilo Rabu, 18 Juni 2025 | 13:05
PEKANBARU, situsriau.com- Ribuan warga dari enam desa di Kabupaten Pelalawan yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, Rabu (18/6/2025). Mereka menolak pengusiran sepihak dari kawasan yang kini diklaim sebagai bagian dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Dalam orasinya, Koordinator Umum AMMP, Wandri Saputra Simbolon, menegaskan bahwa masyarakat telah bermukim di kawasan tersebut jauh sebelum TNTN ditunjuk maupun dikukuhkan.
“Mayoritas masyarakat sudah tinggal di sana sebelum TNTN itu ditetapkan. Kalau memang mau menegakkan aturan, kami minta semuanya dikaji ulang, termasuk proses penetapan TNTN itu. Jangan hanya masyarakat yang disalahkan dan disebut perambah,” ujarnya.
Pertemuan dengan Pemerintah Pusat Wandri mengakui ada sebagian warga yang masuk ke kawasan TNTN, namun ia juga menegaskan bahwa banyak masyarakat yang justru menjadi korban karena kawasan tempat tinggal mereka belakangan dimasukkan ke dalam wilayah taman nasional.
“TNTN baru ditata batas secara definitif pada 2011 dan dikukuhkan pada 2014. Padahal jauh sebelumnya, masyarakat sudah menetap di sana. Lalu siapa yang lebih dulu—masyarakat atau TNTN?” tanya Wandri.
Ia juga mengkritik proses penataan batas kawasan yang menurutnya tidak melibatkan warga. “Seolah-olah tidak ada manusia di sana. Tidak ada satu pun masyarakat yang diajak bicara. Akibatnya, kami sekarang dianggap perambah dan diminta angkat kaki paling lambat 22 Agustus 2025. Ini tidak adil,” katanya.
Wandri meminta agar Presiden Prabowo turun tangan melihat kondisi yang dialami masyarakat. Ia menyayangkan pendekatan penertiban kawasan hutan yang hanya menyasar warga tanpa menyoroti kesalahan institusi kehutanan.
“Kami percaya Presiden Prabowo punya komitmen kuat menyelamatkan hutan. Tapi semua harus dicek benar-benar agar hasilnya adil. Jangan sampai kehutanan menutupi kelalaiannya dengan berlindung di balik Satgas PKH,” tegas Wandri.
Menurutnya, penertiban kawasan TNTN tidak bisa serta-merta mengusir semua warga. Pemerintah harus bijak dan melakukan verifikasi secara menyeluruh.
“Tidak semua masyarakat di sana bersalah. Jika ada yang memang harus direlokasi berdasarkan kajian, silakan. Tapi jangan pukul rata,” pintanya.
Turut mendampingi massa aksi, Ketua Umum Wartawan Sawit Nusantara (WSN), Abdul Aziz, menguatkan pernyataan Wandri. Ia menyebut banyak masyarakat, termasuk transmigran dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), yang terjebak dalam kawasan hutan akibat penataan wilayah yang semrawut.
“Ini menunjukkan kerja kehutanan yang serampangan. Hingga 2016, status kawasan hutan di Riau masih penunjukan, bukan penetapan. Padahal Pasal 14 UU 41 Tahun 1999 menegaskan bahwa kawasan hutan harus dikukuhkan untuk menjamin kepastian hukum,” terang Aziz.
Ia juga mengkritik proses pembentukan TNTN yang dinilainya sejak awal bermasalah dan dipaksakan.
“PP 47 Tahun 1997 dan PP 26 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Taman Nasional harus berada di wilayah yang memiliki kondisi alam asli dan alami. Tapi area TNTN itu sebelumnya telah ditebang perusahaan HPH selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Aziz juga menyoroti bahwa masyarakat yang diklaim tinggal di kawasan TNTN selama ini hidup mandiri tanpa bergantung pada pemerintah.
“TNTN adalah bagian dari lansekap Tesso Nilo seluas 337.500 hektare. Sejak 1996, di kawasan ini telah dikeluarkan 13 izin HTI dengan luas sekitar 153 ribu hektare. Padahal, HTI seharusnya berada di Hutan Produksi Tetap, bukan Hutan Produksi Terbatas,” jelasnya.***