Minggu, 28 April 2024  
Nasional / Menangkan Novanto di Praperadilan, Hakim Cepi Dilaporkan
Menangkan Novanto di Praperadilan, Hakim Cepi Dilaporkan

Nasional - - Jumat, 06/10/2017 - 11:49:22 WIB

JAKARTA, situsriau.com-Putusan hakim Cepi Iskandar terkait praperadilan yang mencabut status tersangka Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP), berbuntut panjang. Hakim Cepi dilaporkan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) oleh Masyarakat Sipil Antikorupsi.

"Kami merekomendasikan kepada Ketua MA dan Kepala Bawas MA untuk segera memanggil dan memeriksa hakim Cepi dan menindak tegas jika ditemukan pelanggaran kode etik hakim," kata salah satu perwakilan Masyarakat Sipil Antikorupsi yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana di lobi Gedung Bawas MA, Jakarta, Kamis (5/10/17).

ICW tergabung dalam koalisi itu bersama Madrasah Anti Korupsi (MAK) Muhammadiyah dan Tangerang Public Transparancy Watch (TRUTH). Koalisi tersebut menjadikan Keputusan bersama Ketua MA RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 sebagai acuan dalam melaporkan hakim Cepi. Keputusan tersebut berisikan aturan tentang Kode Etik dan Perilaku Pedoman Hakim.

Pendaftaran pengaduan dilakukan di Meja Pengaduan Bawas MA RI yang berada di lobi gedung. Pendaftaran dilakukan pada pukul 11.49 WIB. Kurnia dan staff lain dari ICW, Dewi Anggraeni mengisi agenda yang diberikan oleh petugas meja pengaduan terlebih dahulu.

Kemudian mereka memberikan sebuah berkas laporan dugaan pelanggaran hakim Cepi disertai berkas lampiran. Terakhir, Kurnia diberikan tanda terima surat dari Bawas MA pada pukul 11.56 WIB.

"Kami akan memproses laporan ini terlebih dahulu. Kurang lebih memakan waktu seminggu atau dua minggu," ujar petugas meja pengaduan, Aris yang saat itu sedang berjaga dan menerima berkas laporan serta lampiran dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang diwakili Kurnia dari ICW.

Sebagaimana diketahui, hakim Cepi memutuskan membatalkan status tersangka Novanto pada akhir pekan lalu. Hakim Cepi menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 terhadap Novanto tidak sah. Selain itu, Cepi menyatakan bukti yang digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati putusan permohonan praperadilan yang memenangkan Novanto itu. Namun, KPK tetap merasa janggal dengan pertimbangan hakim Cepi.

Salah satu pertimbangan hakim yang menurut KPK janggal yaitu tentang alat bukti yang tidak bisa digunakan untuk dua tersangka. Dalam hal ini, apabila sebuah alat bukti sudah digunakan untuk menetapkan seorang tersangka, maka alat bukti itu tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lainnya meskipun tindak pidana yang dilakukan sifatnya bersama-sama.

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif pun mengamini kejanggalan pertimbangan hakim tersebut. Menurut Syarif, korupsi tidak bisa dilakukan satu pihak saja, setidaknya ada pemberi dan penerima.

"Korupsi itu tidak bisa hanya satu pihak, sekurang-kurangnya ada pemberi, ada penerima. Ada yang dilakukan sendiri, ada yang bersama-sama," katanya dalam sebuah diskusi bertajuk 'Bebasnya Sang Papa, Senjakala Pemberantasan Korupsi di Indonesia', di Universitas Indonesia, Jakarta.

Syarif mencontohkan ada dua orang yaitu A dan B yang bersama-sama membunuh seseorang. Dari peristiwa itu, ditemukan bukti berupa pisau, pentungan, obeng, hingga masker. Syarif mengatakan, bukti-bukti itu bisa digunakan untuk menetapkan A dan B sebagai tersangka. Sebab, menurutnya, tindak pidana itu dilakukan secara bersama-sama oleh A dan B.

"Karena dilakukan bersama, alat bukti ini, semua bukti, bisa digunakan untuk menuntut A, mentersangkakan A, pelaku pertama. Tetapi bukti itu juga, karena bersama-sama bisa dipakai untuk mentersangkakan pelaku B," ujar Syarif dilansir detikcom.

Analogi itu, menurut Syarif, merupakan logika hukum sederhana. Ia juga menyebut contoh itu relevan untuk kasus pidana umum atau pidana khusus seperti korupsi. "Ini bukan rocket science, ini logika hukum sederhana. Jadi dalam korupsi juga seperti itu. Tapi tetap saya patuh terhadap putusan hakim," kata Syarif. (sr5, in)

Kami menerima tulisan mengenai informasi yang bernilai berita
Silahkan SMS ke 08117533365
atau Email: situsriau.redaksi@gmail.com
Lengkapi data diri secara lengkap.
----- Akses kami via mobile m.situsriau.com -----

 
Redaksi | Email | Galeri Foto | Pedoman Media Siber
Copyright 2012-2020 PT. SITUS RIAU INTIMEDIA, All Rights Reserved